JALAN HIDUPKU
Ku pandangi langit sore ini. Terasa kelam dan redup, meski sebenarnya
hari ini cerah. Namun hati yang risau ini membuatku merasa kelam. Aku
duduk di depan rumah yang hanya berdinding kardus-kardus bekas. “Sampai
kapan aku terus begini? Huft… Aku ingin sekolah,” ucapku dalam hati
sambil melamun. “Dion, kamu nggak ngaji, Nak?” Tanya Ibu yang keluar
dari pintu rumah. “Nggak, Bu. Dion lagi malas,” jawabku singkat.
Ibu menyandingku duduk di atas kursi panjang. Dan memberiku nasehat,
agar aku tetap semangat dalam segala hal. “Lho, nggak boleh gitu donk.
Memangnya kamu tidak ingin jadi orang sukses? Kamu ingin jadi dokter,
kan? Ayo donk semangat, Dion nggak boleh malas ngaji yach. Siapa tahu
kamu bisa jadi penerusnya Ustadz Falah (guru ngajiku),” tutur Ibu sambil
mengelus rambutku. “Bagaimana Dion bisa jadi dokter kalau Dion nggak
sekolah? Dion ingin sekolah, Bu…” jawabku cetus. Ibu hanya diam dan
menundukkan kepala. Mukanya terlihat gelisah dan sedih. “Sabar ya, Nak.
Bapak dan Ibu akan berusaha mencari uang untuk biaya sekolah kamu.
Yach?” ucap Ibu sembari memelukku. Aku bersyukur mempunyai orang tua
yang sangat menyayangiku. Akhirnya aku mau berangkat ngaji. Karena tak
perlu mengeluarkan biaya, dengan semangat aku melangkah menuju masjid di
dekat kampungku. Aku termotivasi oleh nasehat-nasehat Ibu tadi. Aku
harus bisa bahagiakan Bapak Ibuku.
Di rumah…
Ketika Bapakku baru pulang kerja memunguti sampah, Ibu sudah menunggu di
teras. Dia menjelaskan bahwa aku benar-benar ingin sekolah seperti
teman-temanku. Bapak dan Ibu begitu resah memikirkan bagaimana
mendapatkan uang untuk menyekolahkan aku. Sepulang mengaji, aku bantu
Bapak merapikan dan memilah sampah dan barang bekas yang baru ia punguti
di perumahan-perumahan kotaku. Tiba-tiba Bapak menyodorkan beberapa
buku bekas yang dia ambil dari sampah-sampah untukku. “Dion, ini buat
kamu. Kebetulan tadi ada ibu-ibu membuangnya, untuk sementara kamu
belajar ini dulu ya, Nak,” ucap Bapak. Aku terdiam sejenak melihat
buku-buku itu, lalu ku ambil dan ku buka lembar demi lembar. Betapa
malangnya nasib buku itu, padahal masih memiliki banyak manfaat meski
sudah jelek dan kusut.
Selesai membantu Bapak, ku rapikan, ku tata dan ku pelajari buku-buku
yang ku dapat dari Bapak tadi. Alhamdulillah aku bisa memahaminya,
meski tak banyak dan meski buku itu untuk pendidikan SMP, padahal umurku
baru 10 tahun. Melihatku sedang belajar, Ibu duduk menyandingku sembari
bertanya, “Belajar apa Dion?” “Ini, Bu. Tadi Bapak menemukan buku-buku
bekas di sampah. Trus, dikasih ke Dion. Lumayanlah buat belajar,”
jawabku penuh semangat. Tanpa sepengetahuanku, air mata Ibu menetes
karena melihatku belajar. Mungkin Ibu merasa prihatin atas nasibku yang
tak kunjung sekolah karena keterbatasan ekonomi.
“Mmmm… Bu, kok para ahli bisa tahu ya organ-organ dan jaringan tubuh
manusia. Apa mereka membunuh manusia dulu lalu dibelah?” tanyaku tentang
isi buku yang sedang ku pelajari. Ibu mengusap air matanya, lalu
menjawab “Ibu juga tidak tahu, Nak. Dulu Ibu mu ini hanya lulusan SD.
Yang jelas mereka pasti mempunyai alat-alat canggih. Tidak mungkin
membunuh manusia. ”Banyak yang belum aku pahami tentang isi buku itu,
salah satunya tentang Ilmu Alam. Tapi aku juga tak tahu, kepada siapa
aku bertanya tentang isi buku ini? Bapak dan Ibuku hanyalah lulusan SD,
karena dulunya mereka juga terhambat ekonomi.
Keesokan harinya, aku sengaja bangun pagi-pagi sekali, sholat
tahajjud, bantu-bantu Ibu, dan mandi. Lalu aku segera bersiap untuk
berangkat ke salah satu sekolah besar di kotaku dan mengikuti pelajaran,
meskipun secara diam-diam. “Mau ke mana, Dion?” Tanya Ibu yang sedang
memasak nasi. “Ke sekolah, Bu. Dion ingin melihat suasana sekolah di SMP
1 Budi Utomo,” jawabku sambil merapikan rambut di depan cermin. “Tapi
kamu kan belum sarapan. Sarapan dulu ya?” “Nggak usah, Bu. Aku minum air
putih saja,” ucapku sembari mengambil segelas air putih di atas meja.
Ku cium tangan Ibuku. Dengan semangat aku berangkat menuju SMP 1 Budi
Utomo yang lumayan jauh dari tempat tinggalku. “Assalamu’alaikum…”
teriakku keluar dari pintu rumah. “Wa’alaikumsalam… Hati-hati ya, Nak.”
jawab Ibu khawatir, sambil terus melihatku berjalan semakin jauh dari
rumah. Aku berjalan menelusuri rel kereta api dan pasar-pasar yang sudah
ramai sejak tadi. Fajar pagi yang mulai muncul di ufuk timur dan lalu
lalang kota metropolitan mengiringi langkahku berjalan, semangatku
semakin berkobar ketika aku melihat beberapa pelajar berangkat sekolah
dengan seragam rapi, dan mengenakan tas. Semakin dekat langkahku dengan
SMP yang kutuju, langkahku mulai ragu. Aku lihat para siswa berseragam
rapi dan mengumbarkan senyum cerah di pagi ini. Keceriaan mereka tak
seperti aku, yang hanya menghabiskan waktu untuk memunguti sampah.
Awalnya aku ingin pulang lagi, tapi nasehat dan motivasi Ibu selalu
terngiang di pikiranku. Akhirnya aku beranikan diri, aku mantapkan
langkahku menuju belakang sekolah secara diam-diam.
Ketika bel masuk kelas, jam pelajaran dimulai. Aku perhatikan dari
jendela luar sudut kelas, guru sedang mengajar muridnya. Seolah aku juga
muridnya, aku pahami betul penjelasan dari guru itu. Dan aku catat di
buku tulis bekas pemberian Bapakku.
Hal itu aku lakukan rutin sampai beberapa Minggu, bangun pagi dan
semangat menuju sekolah itu. Serasa aku sudah bersekolah seperti
teman-teman lain. Tapi suatu hari, seorang tukang kebun di sekolah itu
memergokiku, dia mengira aku pencuri. Padahal aku hanya ingin belajar.
Akhirnya aku diseret ke ruang keamanan. Seorang satpam bermuka seram dan
bertubuh besar memakiku habis-habisan. Bahkan dia sempat memukulkan
tongkatnya ke kedua tanganku. Aku hanya bisa diam dan menangis, lalu aku
diusir dari sekolah itu. Satpam itu mendorongku keluar pintu gerbang
sekolah. Aku pulang dengan langkah lunglai, tubuhku begitu lemas, aku
seperti sampah kaleng yang ditendang jauh-jauh. Ya Allah… kenapa mereka
tak mengerti bahwa anak seperti aku sangat ingin sekolah.
Sejak kejadian itu, aku sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di
sekolah itu lagi. Rasa kesal, marah dan kecewaku pada tukang kebun dan
satpam itu masih terpendam di dalam hati. Aku sangat kecewa karena aku
difitnah. Namun tekadku untuk bersekolah dan mencari ilmu tak akan
pernah pudar. Aku ingin mewujudkan cita-citaku menjadi dokter. Semakin
hari ambisiku semakin besar. Aku selalu berdo’a kepada Allah agar
cita-citaku bisa tercapai, dan aku bisa membahagiakan Bapak Ibuku.
“Bapak, kok nggak ada buku yang dibuang lagi ya?” tanyaku ketika
membantu Bapak memunguti sampah-sampah di perumahan. “Yahh.. semoga saja
ada. Biar kamu bisa belajar,” jawab Bapak sambil mengais-ngais sampah.
Aku sangat berharap bisa menemukan buku-buku bekas lagi. Entah angin apa
yang membawaku ke jalan buruk. Ketika perjalanan pulang melewati pasar
besar di kotaku, aku lihat sebuah dompet mewah terjatuh dari saku
seorang mahasiswi. Tanpa berpikir panjang, langsung saja ku ambil dompet
itu tanpa ada yang tahu. Lalu, ku masukkan ke saku celanaku. Seolah tak
ada apa-apa, aku ikuti lagi langkah Bapak pulang. Sesampainya di rumah,
hidangan nasi dan tempe sudah disiapkan Ibu di atas meja.
“Dion, makan dulu ya? Trus sholat dan ngaji,” tutur Ibu setelah ku
letakkan barang-barang bekas hasil pungutanku dengan Bapak. “Iya, Bu,”
jawabku sembari berjalan mengambil piring.
Selesai makan dan mandi, aku berangkat ke masjid untuk mengaji,
sekalian aku sholat ashar di sana. Sebelum berangkat ku buka sejenak
dompet yang ku dapat dari pasar tadi. Aku terkejut, dua belas lembar
uang 100 ribuan dan beberapa lembar 50 ribuan memenuhi dompet warna
klasik yang terlihat mewah itu. Juga beberapa lembar foto pemilik dompet
itu, beserta KTPnya yang bertuliskan nama “Alya Nur Alita”. “Wah… uang
sebanyak ini bisa buat biaya sekolahku donk,” ucapku dalam hati yang
riang ini. Pikiranku tertuju pada khayalan ketika aku sudah berseragam
rapi dan berkumpul bersama teman-teman untuk belajar. Ah.. aku ngaji
dulu, tak lama lagi aku akan masuk sekolah. Khayalanku menghilang. Ku
tutup kembali dompet itu dan ku selipkan di bawah bantal, lalu aku
berangkat ngaji. Selang beberapa menit setelah aku pergi, Ibu sengaja
merapikan kamarku dan menemukan dompet itu di bawah bantal.
“Astaghfirullahal’adzim… dari mana Dion mendapatkan barang ini?” Ibuku
terkejut dan langsung memanggil Bapak. “Mas Aryo…!!” teriaknya Mendengar
teriakan itu, Bapak bergegas menuju sumber suara. “Ada apa, Bu?”
“Lihatlah Mas…” jawab Ibu sambil menunjukkan isi dompet itu. “Hah??!!
Milik siapa ini, Bu?” Bapak pun terkejut. “Aku juga tidak tahu. Aku
menemukannya di bawah bantal Dion, Pak.” Ibu dan Bapak semakin khawatir.
Dan mereka mengira bahwa aku mencuri dompet itu dari seseorang. Mereka
menunggu kedatanganku di dalam rumah. Selang setengah jam.
“Assalamu’alaikum…” Aku masuk rumah dan mencium tangan Bapak dan Ibu.
“Wa’alaikumsalam..” jawab Bapak Ibu serempak.
“Dion, duduk sini dulu, Nak,” tutur Ibu lembut. Aku merasa ada yang
aneh. Tak biasanya Bapak dan Ibu terlihat serius seperti ini. Suasana
pun hening sejenak. Hatiku bertanya-tanya, “Ada apa ini?” “Dion, dari
mana kamu dapatkan dompet ini?” Tanya Ibu memulai pembicaraan sambil
menunjukkan dompet mewah itu. Aku hanya diam menundukkan kepala.
Jantungku berdetak kencang. “Dari mana, Dion? Jawab..!!!” bentak Bapak
sambil menatapku tajam. Jantungku seperti tersambar petir, Bapakku tak
pernah semarah itu padaku. “Jawab jujur, Nak. Dari mana dompet ini?”
lanjut Ibu dengan suara lembut. Ibuku memang sangat sabar dalam
menghadapi anaknya yang bandel ini. “A… aku.. aku nemu..” jawabku gugup.
Keringatku mulai mengucur di leher. “Jangan bohong kamu!! Kamu…”
kemarahan Bapak semakin memuncak, hampir saja tangannya diayunkan ke
mukaku. Untungnya Ibu berusaha menahannya. “Mas… Jangan!! Dia anak kita
satu-satunya,” gertak Ibu sambil menahan tangan Bapak. “Dion, kamu
jangan bohong. Jawab yang jujur, Nak. Insya Allah jika kamu jujur, Bapak
tidak akan memarahi kamu lagi,” lanjutnya. Air mataku mulai menetes,
dan semakin mengalir. “Aku ingin sekolah… Aku ingin sekolah seperti
teman-teman yang lain…” ucapku sambil menangis terisak-isak. “Lalu dari
mana kamu dapat dompet dengan uang sebanyak ini, Dion…” sahut Ibu.
Sedangkan Bapak masih berusaha menahan amarahnya.
“Tadi waktu lewat pasar, dompet itu jatuh dari saku orang. Trus Dion
ambil. Dion pikir uangnya bisa untuk bantu Bapak Ibu menyekolahkan
Dion,” jawabku sambil terus menangis.
“Ya… Allah… Bukan begitu caranya, Dion… Itu haram! Kenapa tidak kamu
kembalikan pada pemiliknya?” kata Bapak yang amarahnya mulai mereda. Aku
hanya terdiam menunduk, menyesali perbuatanku. “Dion… Bapak dan Ibu
akan berusaha keras mancari uang untuk biaya sekolah kamu. Tapi bukan
dengan cara yang haram. Kita juga harus sabar dengan cobaan ini. Bapak
janji akan menyekolahkan kamu, Nak,” lanjutnya. Ibu juga mengangguk atas
perkataan Bapak. Ku coba mengangkat kepalaku dan menatap Bapak Ibu.
Meski air mata ini terus mengalir. “Maafkan Dion, Bapak, Ibu…” “Jangan
diulangi lagi ya, Nak,” tutur Ibu sembari memelukku, Bapak pun juga ikut
memelukku. Air mataku semakin mengalir deras, betapa bodohnya aku
melakukan hal yang sangat dilaknat Allah. Dan betapa bahagianya aku
masih mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku. “Ya sudah. Besok
Bapak bantu kamu mencari pemilik dompet ini, ya…” kata Bapak. Aku
mengangguk.
Esok harinya di pagi hari, aku dan Bapak kembali menekuni pekerjaan
yang dilakukan Bapak sejak aku lahir. Memunguti dan mengais-ngais sampah
di pasar, sambil mencari pemilik dompet yang bernama Alya Nur Alita
itu. Ku telusuri setiap sudut pasar sambil ku amati foto KTP yang ada di
dompet itu. Setelah kira-kira 2 jam aku mengitari pasar, akhirnya ku
temukan pemilik dompet mewah itu. “Maaf, Kak. Apa ini dompet Kakak?”
tanyaku menghentikan langkahnya. “Oh iya, Dek. Alhamdulillah… Dari mana
kamu menemukannya?” tanya perempuan berjilbab itu. “Maaf, Kak. Kemarin
waktu terjatuh dari saku Kakak, langsung aku ambil. Tapi demi Allah, aku
sama sekali tidak mengambil uangnya sepeserpun.” Dia membalasnya dengan
senyum lebar, seolah melihat kelucuan pada diriku.
“Iya… Kakak percaya kok sama kamu. Mmmm… nama kamu siapa?” tanyanya
sambil mengelus rambutku. “Dion,” jawabku singkat. Dia pun juga
memperkenalkan dirinya padaku. Panggilannya adalah Kak Alya. Aku
terlibat perbincangan dengan anak orang berduit itu, dan kita semakin
mengenal dekat meskipun baru pertama kali bertemu. Tak lama
berbincang-bincang, Bapak datang menghampiriku. Kami pun saling mengenal
hingga terlihat akrab. Bahkan Kak Alya tahu apa yang ada dalam
pikiranku. Aku sangat ingin bersekolah. Pantas saja, karena kak Alya
kuliah di jurusan Psikologi. Suatu hari kak Alya berkunjung ke rumahku
yang kecil, kumuh, dan sangat tidak nyaman. Baru kali ini aku temui
seorang yang cantik dan baik hati. Aku, Bapak, Ibu dan kak Alya
berbincang-bincang dan saling bertukar pengalaman. Ketika Ibu
menceritakan kehidupan keluarganya yang selalu miskin, air mata kak Alya
mulai mengalir di pipinya, dia terharu. Begitu juga Bapak dan Ibu.
Sedangkan aku, lebih tak kuasa menahan tangis.
Aku lari keluar rumah, ku kerahkan seluruh tenagaku untuk berlari
sekencang-kencangnya. Entah bisikan apa yang membuatku berhenti tepat di
tengah rel kereta api. Pikiranku serasa kacau. Aku ingin mengakhiri
semua beban dan penderitaan ini. Aku tak mau membebani Bapak Ibu lagi.
Aku berdiri memejamkana mata, dan berharap kereta akan datang menindas
tubuhku yang tak berguna ini. Bapak, Ibu dan kak Alya berusaha
mengejarku dan mencegahku. Kak Alya pun langsung menarikku keluar dari
rel dan memelukku erat sambil menangis. “Kamu kenapa Dion?” tanya kak
Alya. “Dion.. Kamu kenapa, Nak? Jawab!” sambung Bapak. Aku terdiam
sejenak. “Aku tak mau membebani Bapak dan Ibu terus. Selama ini Dion
hanya menyusahkan Bapak Ibu. Dion tidak bias sekolah. Dion tidak bisa
bahagiakan Bapak Ibu. Biarkan Dion pergi… Dion tidak berguna…!!”
teriakku kencang. Suara kereta melaju kencang mengiringi teriakanku.
Angin berhembus mengikuti arah kereta melaju dan menghempas rerumputan
di sekitar rel.
“Tidak Dion!! Kamu sangat berguna buat Bapak dan Ibu. Kamu anak kami
satu-satunya…” sahut Ibu yang menangis terisak-isak. Ibu sangat
menyayangiku, dan beliau sangat takut kehilangan aku. “Sadar Dion! Masa
depan kamu masih panjang. Kakak yakin, kamu pasti akan jadi orang yang
bisa membahagiakan Ibu Bapak. Yach…” ucap kak Alya sembari memegang
kedua bahuku.
Semuanya terdiam, hanya isak tangis yang terdengar. Kak Alya merasa
trenyuh, dia berusaha berpikir dan mencari jalan keluar untuk bisa
meringankan beban keluargaku. Akhirnya dia mengajakku kembali ke rumah,
Bapak dan Ibu mengikuti dari belakang. Sesampainya di rumah, kak Alya
memutuskan untuk merawatku di rumahnya yang sungguh bagaikan istana.
Sedangkan Bapak dan Ibu membantu pekerjaan rumah. Ibu membantu kak Alya
dan keluarganya untuk merawat rumah serta memasak, dan Bapak membantu
tukang kebun untuk selalu merawat tanaman yang mengelilingi rumah
keluarga kak Alya. Tak ku sangka, keluarga kak Alya begitu baik. Mereka
mau menyekolahkan aku dan memperlakukan Bapak Ibuku seperti keluarga
sendiri.
Sepuluh tahun kemudian, akhirnya aku lulus kuliah. Bapak, Ibu dan
keluarga kak Alya sangat senang mengunjungiku waktu wisuda di kampus
tempatku kuliah. Sungguh, Allah Maha Adil. Tak ku sangka, aku juga
mendapat penghargaan sebagai wisudawan termuda dan berprestasi. “Terima
kasih, kak. Dion sangat berhutang budi pada kakak dan keluarga. Terima
kasih..” ucapku ketika kupeluk kak Alya. “Iya Dion. Kakak dan keluarga
sangat senang Dion jadi orang sukses. Semoga Allah selalu melindungi
kita semua ya..” jawab kak Alya dengan senyum lebar. Kini, aku menjadi
seorang dokter spesialis bedah di rumah sakit daerahku. Aku sangat
bersyukur, Allah mendengarkan do’aku, cita-citaku sejak kecil yang ku
anggap hanya mimpi yang tak pernah menjadi nyata, akhirnya menjadi
kenyataan. Dan aku bisa membahagiakan Bapak Ibuku. Terima kasih ya
Allah… terima kasih kak Alya, aku sangat merasa berhutang budi pada
kakak dan keluarga kakak.
Tapi, belum genap satu bulan aku menjalani profesiku, musibah telah
menimpa kak Alya. Dia dan suaminya mengalami kecelakaan maut. Mobilnya
jatuh ke jurang ketika perjalanan berlibur. Aku pun berusaha membantu
menyembuhkan luka mereka yang parah. Namun Allah berkehendak lain, nyawa
kak Alya dan suaminya tak bisa di tolong lagi. Ya Allah… hati ini
sangat terpukul, kenapa begitu cepat kebahagiaan ini untuk kak Alya,
belum sempat aku membalas kebaikannya, tapi dia sudah pergi ke dunia
lain, selamanya. Tapi aku selalu berharap, kebaikan yang selama ini dia
berikan pada keluargaku, akan dibalas oleh Allah. Sekali lagi, terima
kasih kak Alya, kebaikanmu akan selalu melekat di hatiku. Dan maafkan
kesalahanku, Bapak dan Ibu selama ini.
~ The End ~
Cerpen Karangan: Nur Isna Aulya
Facebook: Nur Isna Aulya
Aku seorang mahasiswi di sebuah universitas negeri di Malang. Keinginan
terbesarku adalah menjadi penulis profesional dan mempunyai kegigihan
tinggi untuk selalu menulis. Tapi hobiku untuk menulis sempat tersendat
bahkan vakum karena tugas-tugas kuliah yang selalu membuatku tak sempat
menulis banyak, bahkan mungkin tak ada inspirasi. Motivasi dan inspirasi
dari teman2 cerpenmu.com selalu aku harapkan. Syukron ^^